Legenda Calon Arang
Di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Airlangga yaitu didesa Girah
ada sebuah Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Sihir yang dipimpin oleh
seorang janda yang bernama Ibu Calonarang (nama julukan dari Dayu Datu).
Murid – muridnya semua perempuan dan diantaranya ada empat murid yang
ilmunya sudah tergolong tingkat senior antara lain : Nyi Larung, Nyi
Lenda, Nyi Lendi, Nyi Sedaksa.
Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putri yang bernama
Diah Ratna Mengali, berparas cantik jelita, tetapi putrinya tidak ada
satupun pemuda yang melamarnya.
Karena Diah Ratna Mangali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada
hukum keturunan yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun
mewarisi ilmu leak itu, begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah
satu muridnya yang paling dipercaya oleh Ibu Calonarang.
Mendengar pengaduan tersebut, tampak nafas Ibu Calonarang mulai
meningkat, pandangan matanya berubah seolah-olah menahan panas hatinya
yang membara. Pengaduan tersebut telah membakar darah Ibu Calonarang
dan mendidih, terasa muncrat dan tumpah ke otak. Penampilannya yang
tadinya tenang, dingin dan sejuk, seketika berubah menjadi panas,
gelisah. Kalau diibaratkan Sang Hyang Wisnu berubah menjadi Sang Hyang
Brahma, air berubah menjadi api. Tak kuasa Ibu Calonarang menahan
amarahnya. Tak kuat tubuhnya yang sudah tua tersebut menahan gempuran
fitnah yang telah ditebar oleh masyarakat Kerajaan Kediri.
Ibu Calonarang sangat sedih bercampur berang, sedih karena khawatir
putrinya bakal jadi perawan tua, itu berarti keturunannya akan putus
dan tidak bisa pula menggendong cucu, berang karena putrinya dituduh
bisa ngeleak.
Ibu Calonarang berkata kepada Nyi Larung : “Hai Nyi Larung, penghinaan
ini bagaikan air kencing dan kotoran ke wajah dan kepalaku. Aku akan
membalas semua ini, rakyat Kediri akan hancur lebur, dan luluh lantak
dalam sekejap. Semua orang-orangnya akan mati mendadak. Laki-laki,
perempuan, tua muda, semuanya akan menanggung akibat dari fitnah dan
penghinaan ini. Kalau tidak tercapai apa yang aku katakan ini, maka
lebih baik aku mati, percuma jadi manusia. Kalau Ibu Calonarang ini
tidak melakukan balas dendam maka hati ini tidak akan merasa tentram”.
Demikian kata-kata Ibu Calonarang yang sangat mengerikan kalau
seandainya hal ini menjadi kenyataan. Nyi Larung kemudian menyahut dan
bertanya “Kalau demikian niat Guru, bagaimana kita bisa melakukan hal
tersebut”. segera dijawab oleh Ibu Calonarang. “Kau Nyi Larung,
ketahuilah, jangan terlalu khawatir akan segala kemampuanku. Aku Ibu
Calonarang bukanlah orang sembarangan dan murahan. Kalau tidak yakin
dengan diri, maka aku tidak akan sesumbar begitu. Biar mereka tersebut
merasakan akibat dari segala perbuatan yang telah mereka lakukan
terhadap anakku.
Kau Nyi Larung, Ibu minta agar kau mengumpulkan semua murid-muridku
supaya segera masuk ke Pasraman Pengeleakan. “Tunggu sampai tengah
malam nanti. Aku akan menurunkan segala ilmu kewisesan yang aku miliki
kepada kalian semua. Karena sekarang hari masih terang dan sore, lebih
baik engkau semua melakukan pekerjaan seperti biasanya. Aku akan
mempersiapkan segala sesuatunya. Nanti malam kita akan berkumpul lagi
membicarakan masalah tersebut, dan ingat tidak ada yang boleh tahu
mengenai apa yang kita akan lakukan ini, kita akan membuat Kerajaan
Kediri gerubung yaitu berupa serangan wabah penyakit yang sulit diobati
yang dapat mematikan rakyatnya dalam waktu singkat. Demikian Ibu
Calonarang menutup pembicaraannya pada sore hari tersebut, dan semua
kembali melakukan kegiatan sebagaimana mestinya.
Gerubug Di Kerajaan Kediri
Diceritakan Rakyat Kerajaan Kediri di siang harinya yang ramai seperti
biasanya. Masyarakatnya sebagian besar hidup dari bertani di sawah
dengan menanam padi dan palawija. Anak-anak muda semuanya riang gembira
bermain sambil mengembalakan sapi dan bebek di sawah. Mereka riang
gembira, menemani orang tuanya yang sedang membajak sawah. Ada pula
masyarakat yang bekerja sebagai tukang membuat rumah, pondok, bangunan
suci seperti pura dan sanggah, atau membuat angkul-angkul atau pintu
gerbang, dan lain-lain. Bagi kaum perempuan dan yang bekerja sebagai
pedagang dengan menjual kue, nasi, kopi dan ada pula yang menenun kain
untuk keperluan sendiri. Ada pula dari golongan pande bekerja khusus
membuat perabotan pisau, sabit, parang, cangkul, keris, dan perabotan
dari besi lainnya. Bagi yang mempunyai waktu luang yang laki-laki
biasanya diisi dengan mengelus-elus ayam aduan, dan bagi yang perempuan
digunakan untuk mencari kutu rambut.
Tidak ada terasa hal-hal aneh atau pertanda aneh di siang hari
tersebut. Kegiatan masyarakat berlangsung dari pagi sampai sore, bahkan
sampai malam hari. Pada malam hari masyarakat yang senang matembang
atau bernyanyi melakukan kegiatannya sampai malam. Demikian pula dengan
sekaa gong latihan sampai malam di Balai Banjar. Suasananya nyaman,
tentram, dan damai sangat terasa ketika itu.
Setelah tengah malam tiba, semua masyarakat telah beristirahat tidur.
Suasananya menjadi sangat gelap dan sunyi senyap, ditambah lagi pada
hari tersebut adalah hari Kajeng Kliwon. Suatu hari yang dianggap
kramat bagi masyarakat. Masyarakat biasanya pantang pergi sampai larut
malam pada hari Kajeng Kliwon. Karena hari tersebut dianggap sebagai
hari yang angker. Sehingga penduduk tidak ada yang berani keluar sampai
larut malam.
Ketika penduduk Rakyat Kediri tertidur lelap di tengah malam, ketika
itulah para murid atau sisya Ibu Calonarang yang sudah menjadi leak
datang ke Desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Sinar beraneka
warna bertebaran di angkasa. Desa-desa pesisir bagaikan dibakar dari
angkasa. Ketika itu, penduduk desa sedang tidur lelap. Kemudian dengan
kedatangan pasukan leak tersebut, tiba-tiba saja penduduk desa
merasakan udara menjadi panas dan gerah. Angin dingin yang tadinya
mendesir sejuk, tiba-tiba hilang dan menjadi panas yang membuat tidur
mereka menjadi gelisah. Para anak-anak yang gelisah, dan terdengar
tangis para bayi di tengah malam. Lolongan anjing saling bersahutan
seketika. Demikian pula suara goak atau burung gagak terdengar di
tengah malam. Ketika itu sudah terasa ada yang aneh dan ganjil saat
itu. Ditambah lagi dengan adanya bunyi kodok darat yang ramai, padahal
ketika itu adalah musim kering. Demikian pula tokek pun ribut saling
bersahutan seakan-akan memberitahukan sesuatu kepada penduduk desa.
Mendengar dan mengalami suatu yang ganjil tersebut, masyarakat menjadi
ketakutan, dan tidak ada yang berani keluar.
Endih atau api jadi-jadian yang berjumlah banyak di angkasa kemudian
turun menuju jalan-jalan dan rumah-rumah penduduk desa. Api sebesar
sangkar ayam mendarat di perempatan jalan desa, dan diikuti oleh api
kecil-kecil warna-warni. Setelah itu para leak yang tadinya terbang
berwujud endih, kemudian setelah di bawah berubah wujud menjadi leak
beraneka rupa, dan berkeliaran di jalan-jalan desa. Ketika malam itu,
ada seorang masyarakat memberanikan diri untuk mengintip dari balik
jendela rumahnya. Untuk mengetahui situasi di luar rumah. Namun apa
yang dilihatnya? Sangat terkejut orang tersebut menyaksikan kejadian di
luar. Orang tersebut, karena saking takutnya, segera ia masuk ke dalam
rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat, serta segera memohon kehadapan
Hyang Maha Kuasa agar diberikan perlindungan. Kemudian orang tersebut
mengalami sakit ngeeb atau ketakutan yang berlebihan dan tidak mau
bicara.
Para murid atau sisya Ibu Calonarang yang berjumlah tiga puluh empat
orang ditambah dengan empat orang muridnya yang sudah senior yaitu Nyi
Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, dan Nyi Sedaksa, semua sudah berada di
desa pesisir. Malam yang sangat gelap kemudian ditambah dengan hujan
gerimis yang memunculkan bau tanah yang angid, mambuat para leak
menjadi semakin bersuka ria. Beberapa bola api bertebaran di angkasa
berkejar-kerjaran dan menari-nari. Monyet-monyet besar, anjing bulu
kotor, dan babi bertaring panjang berkeliaran di jalan-jalan sepanjang
desa wilayah pesisir bercanda bersuka ria. Leak kambing, gegendu
kerbau, gegendu jaran tampak jalan-jalan mengitari Kerajaan Kediri.
Demikian pula dengan sosok Leak Celuluk yang berkelebat-kelebat dan
bersandar di angkul-angkul rumah penduduk. Leak yang berwujud kreb kasa
atau kain putih panjang bergulung-gulungan tampak melintang di jalanan.
Di perempatan dan pertigaan jalan Desa, sosok Leak berwujud bade atau
menara pengusungan mayat sedang menari-nari memenuhi jalanan. Semua
leak tersebut menjalankan tugas seperti apa yang diperintahkan oleh
gurunya yakni Ibu Calonarang.
Sungguh-sungguh seram memang pada malam itu. Penduduk desa tidak ada
yang berani berkutik, apalagi keluar rumah. Para leak di malam itu
telah menyebarkan penyakit grubug di desa-desa wilayah pesisir Kerajaan
Kediri. Setelah semalaman para leak berpesta pora, maka hari telah
menjelang pagi. Tiba saatnya para Leak untuk kembali ke wujud semula.
Karena begitulah hukumnya sebagai leak. Waktu mereka adalah di malam
hari. Apabila mereka melanggar hukum tersebut maka mereka akan
mendapatkan bahaya. Ketika hari menjelang pagi para leak pun kembali ke
tempatnya semula, dan pulang ke rumah. Demikian pula dengan Ibu
Calonarang beserta Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi dan Nyi Sedaksa
kembali pulang ke rumah setelah pesta pora di malam hari. Sekarang
mereka hanya tinggal menunggu hasil dari kerja mereka semalam.
Diceritakan keesokan harinya penduduk desa bangun pagi-pagi. Mereka
ramai menceritakan keanehan-keanehan dan keganjilan-keganjilan yang
terjadi pada malam harinya. Semuanya menceritakan apa yang mereka
rasakan atau apa yang mereka sempat saksikan malam itu dirumah
masing-masing. Namun sedang asyiknya mereka bercerita, tiba-tiba saja
ada seorang penduduk yang menjerit minta tolong. Orang tersebut
mengatakan salah seorang keluarganya tiba-tiba saja sakit perut,
muntah-muntah, dan mencret-mencret. Ketika mau memberikan pertolongan
kepada penduduk di sebelah Barat tersebut, tiba-tiba saja tetangga di
sebelah Timur menjerit minta tolong ada salah seorang keluarganya yang
muntah dan mencret. Pagi itu, masyarakat desa menjadi panik.
Karena mendadak sebagian penduduk mengalami muntah dan mencret. Bahkan
pagi itu, ada beberapa yang telah meninggal. Beberapa lagi belum ada
yang sempat diberi obat, tiba-tiba sudah meninggal. Demikian semakin
panik masyarakat di desa. Segera saja yang meninggal dikuburkan di
setra atau tempat pemakaman mayat, namun ketika pulang dari setra,
tiba-tiba saja yang tadinya ikut mengubur menjadi sakit dan meninggal.
Demikian seterusnya. Penduduk desa dihantui oleh bahaya maut.
Seolah-olah kematian ada di depan hidung mereka. Sungguh mengerikan
pemandangan di desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri ketika itu.
Kerajaan Kediri gempar, sehari-hari orang mengusung mayat kekuburan
dalam selisih waktu yang sangat singat.
Menghadapi situasi demikian beberapa penduduk dan prajuru desa mencoba
untuk menanyakan kepada para balian atau dukun untuk minta pertolongan.
Para balian pun didatangkan ke desa-desa yang kena bencana wabah
gerubug. Ternyata mereka juga tidak dapat berbuat banyak menghadapi
penyakit gerubug yang dialami penduduk desa. Bahkan, si balian atau
dukun yang didatangkan tersebut mengalami mutah berak dan meninggal.
Setiap hari kejadian tersebut terus berlangsung. Penduduk desa menjadi
bingung dan panik. Ada yang berkehendak untuk mengungsi dan menghindar
dari grubug tersebut. Mereka berbondong-bondong meninggalkan desanya.
Namun ketika sampai di batas desa, mereka itu mengalami muntah berak
dan meninggal seketika. Melihat keadaan seperti itu penduduk yang masih
hidup menjadi semakin ketakutan. Ketika malam hari, mereka semua tidak
ada yang berani tidur sendirian, dan tidak berani keluar rumah.
Lolongan anjing tak henti-hentinya di malam hari. Burung gagak, katak
dongkang, semuanya ribut saling bersahutan.
Adanya musibah yang menakutkan bercampur dengan sedih, para penduduk
mencoba untuk berpasrah diri dan menyerahkan semuanya kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi. Setiap saat mereka memuja dan memohon kehadapan
beliau agar bencana grubug ini segera berakhir, dan semua penduduk yang
masih hidup diberkahi keselamatan dan kekuatan. Di samping itu
perlindungan-perlindungan magis dipasang di depan pintu masuk
pekarangan dan pintu rumah. Sesuai dengan petunjuk orang pintar atau
sesuai dengan kebiasaan para tetuanya terdahulu. Penduduk memasang
sesikepan atau pelindung magis seperti daun pandan berduri yang
ditulisi tapak dara atau tanda palang dari kapur sirih, berisi bawang
merah, bawang putih, jangu, juga benang tri datu yaitu benang warna
merah, putih, hitam, dan pipis bolong atau uang kepeng. Jadi pada
dasarnya semua dilakukan untuk menolak penyakit, dan memohon
perlindungan kehadapan Hyang Maha Kuasa.
Setelah berberapa hari mengalami kepanikan, kebingungan dan ketakutan,
akhirnya para prajuru desa atau Pengurus Desa, para penglingsir atau
tetua, dan para pemangku, mengadakan pertemuan di salah satu Balai
Banjar di Desa Girah. Pada intinya mereka membicarakan mengenai masalah
atau penyakit gerubug yang menyerang desa-desa pesisir wilayah Kerajaan
Kediri. Kalau seandainya masalah ini dibiarkan begitu saja, sudah pasti
penduduk desa akan habis semuanya.
Mereka tetap berharap agar semua masyarakat meningkatkan astiti
bhaktinya atau pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan
agar diberikan keselamatan, kesehatan, perlindungan, dan umur panjang.
Disamping itu pula para prajuru desa para penglingsir atau tetua desa
beserta dengan para pemangku sepakat untuk melaporkan masalah ini
kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri. Mereka berencana memohon
kehadapan Raja Airlangga agar beliau berkenan untuk datang ke desa-dewa
wilayah pesisir Kerajaan Kediri meninjau rakyatnya yang sedang ditimpa
musibah penyakit atau gerubug. Karena beliau sebagai penguasa atau
sebagai Raja Kediri berhak tahu dan wajib untuk melindungi rakyatnya
dari bencana. Demikian kesepakatan mereka dan merencanakan akan
berangkat ke Istana besok pagi.
Ketika para tetua desa dan prajuru disertai dengan para pemangku masih
berada di Bale pertemuan, tiba-tiba saja muncul seseorang yang bertubuh
tinggi, kepala kribo, berkumis tebal dan brewok. Orang ini berjalan
sempoyongan, dengan mata merah, dan bicaranya ngawur. Rupanya orang ini
dalam keadaan mabuk. Orang tersebut datang di bale pertemuan dan
berkata bahwa anaknya telah meninggal karena muntah mencret. Pemabuk
itu kemudian berkata : mana Leak Calonarang yang telah memakan anakku,
akan aku santap bola matanya mentah-mentah. Demikian orang tersebut
sesumbar dihadapan para sesepuh desa. Ketika setelah mengatakan
sesumbar tersebut Si Brewok tiba-tiba saja muntah mencret tak
tertahankan, dan akhirnya tewas di tempat. Keesokan harinya para
prajuru desa beserta rombongan berangkat menuju Istana Kediri. Sangat
cepat perjalanan mereka, sehingga tidak diceritakan sampailah rombongan
tersebut di bencingah atau alun-alun Istana Raja. Ketika di Istana
rombongan tersebut menyaksikan suatu keadaan yang tenang, damai, dan
biasa saja, jauh dari kesusahan, kalau dibandingkan dengan apa yang
terjadi di desa sekarang ini.
Di bencingah puri tampak sekelompok masyarakat yang sedang duduk-duduk
di bawah rimbunnya daun beringin yang sangat besar yang tumbuh di
becingah, seolah-olah memayungi rakyat Kediri dari terik sinar
matahari. Bangsingnya atau akarnya yang menjulur sampai menyentuh tanah
seolah-olah menjulurkan tangannya untuk menolong rakyat Kediri yang
kesusahan. Mereka seperti biasa yang laki-laki beristirahat, sambil
mengecel atau mengelus ayam aduan. Di sampingnya tampak berderet ayam
aduan dengan beraneka warna, dan mekruyuk atau berkokok saling
bersahutan. Disana, ada pula dagang kopi, dagang kue, dagang nasi,
dengan be guling nyodog atau babi guling yang utuh dan diletakkan di
atas meja dagangan.
Rombongan tersebut disapa oleh orang-orang yang ada di bencingah.
Mereka kemudian segera masuk ke dalam Istana Raja melalui pemedalan
atau pintu keluar candi bentar yang megah, disandingkan dengan bale
kulkul yang menjulang tinggi, dan bale bengong yang tampak mempesona,
membuat mereka menjadi klangen atau kagum. Di hulu sebelah timur laut
terdapat pemerajan puri atau tempat suci keluarga Raja yang sangat
disucikan.
Mereka kemudian menghadap Prabu Airlangga di Bale penangkilan atau
balai penghadapan. Setelah memberikan penghormatan kehadapan Sang
Prabu, rombongan tersebut kemudian menjelaskan segala sesuatu maksud
dan tujuannya mengahap ke Istana. Dijelaskan pula secara panjang lebar
mengenai masalah yang sedang melanda desa-desa pesisir wilayah Kerajaan
Kediri. Mereka kemudian memohon agar Sang Prabu berkenan untuk meninjau
ke desa-desa. Demikian hatur mereka semua kehadapan Sang Prabu.
Kemudian Sang Prabu menjawab dengan kata-kata yang agak berat, dan
dengan roma muka yang agak tegang ketika itu.
“Kalau begitu keadaannya, penyebar gerubug di desa-desa wilayah pesisir
tidak lain dan tidak bukan adalah Ibu Calonarang. Aku tidak akan
meninjau ke desa lagi. Tetapi aku akan segara berupaya untuk
menyelesaikan masalah kalian, dan menghadapi Calonarang yang sakti
tersebut”.
“Pengerusakan dan penyebaran penyakit di desa-desa oleh Calonarang
sebenarnya adalah tantangan langsung bagiku sebagai penguasa di
Kerajaan Kediri. Aku akan menghadapi bagaimanapun ririh atau saktinya
Calonarang. Calonarang sangat berani kepadaku, dan sangat besar dosanya
karena telah membunuh banyak rakyatku yang tidak berdosa. Sangat besar
dosanya terhadap kerajaan, sehingga orang tersebut harus mendapatkan
ganjaran hukuman yang setimpal”. Demikian sabda Raja Kediri yang
menabuh genderang perang terhadap Calonarang.
Sang Prabu juga menyampaikan pesan kepada rombongan Desa Girah sesampai
di rumah nanti, beritahukan kepada seluruh rakyatku semuanya.
Tenanglah, bersabarlah dan selalulah memuja kebesaran Ida Betara Tri
Sakti yang berstana di Pura Kayangan Tiga. Selalulah berjaga-jaga di
perbatasan desa sambil menghidupkan api obor sebagai penerangan dan
sekaligus mohon perlindungan kehadapan Hyang Betara Brahma. Sebelum itu
jangan lupa menghaturkan canang atau sesajen di sanggah atau tempat
suci keluarga masing-masing agar para leluhur kita juga ikut membantu
melindungi dari bahaya ini.
Kemudian mohonlah sesikepan atau sarana magis yang bersarana bawang
putih, jangu, benang tri datu, dan pipis bolong, sebagai sarana penolak
leak. Demikian perintah dan sekaligus pesan Raja Kediri kepada rakyat
beliau yang sedang ditimpa bencana gerubug dan salanjutnya para
penghadap tersebut diijinkan untuk pamit kembali pulang. Tidak
diceritakan perjalanan mereka, maka sampailah rombongan tersebut di
rumah, dan segera memberitahukan apa yang menjadi titah Raja Kediri.
Raja Kediri Murka
Kembali diceritakan Prabu Airlangga Raja Kediri. Sepeninggalan
rombongan Desa Girah, maka beliau sendirian duduk termenung di bale
penangkilan. Pandangannya menerawang jauh kemana-mana, tangannya
dikepalkan, dan tampak gelisah. Duduk bangun, demikianlah Sang Prabu
sendirian di Istana. Tampaknya Sang Prabu tak kuasa menahan amarah dan
panas hati beliau akibat ulah Calonarang. Sangat menakutkan sekali
perangai beliau ketika itu. Diibaratkan macan gading atau harimau
kuning yang akan menerkam mangsanya. Tak seorang pun parekan atau
punakawan di puri atau istana yang berani menyapa beliau. Istri dan
parekan atau punakawan di puri atau istana semuanya terdiam takut
melihat gelagat Sang Prabu yang lagi murka. Tidak ada yang berani
menghampiri dan menemani beliau ketika itu. Suguhan wedang atau kopi
dan juga hidangan yang lainnya tidak disentuh sama sekali. Pikiran
beliau hanya tertuju kepada upaya bagaimana mengalahkan Calonarang yang
sakti tersebut.
Barong perlambang roh-roh baik, biasa digunakan untuk melambangkan raja Airlangga
Ketika hari menjelang siang, Sang Prabu belum juga beranjak dari tempat
beliau duduk sejak pagi. Kemudian secara tak disangka-sangka datang Ki
Patih Madri menghadap Sang Prabu ke Istana. Ia adalah seorang tabeng
dada atau pengawal Istana. Ki Patih Madri berperawakan tinggi besar,
pintar ilmu silat atau bela diri, dan menguasai beberapa ilmu
kanuragan. Ia sangat berpengaruh di kalangan orang-orang di Kerajaan
Kediri, namun ia sendiri berpenampilan sangat sederhana, polos, dan
sangat setia kepada Istana terutama kehadapan junjungannya yakni Prabu
Airlangga Raja Kediri.
Sangat gembira sekali perasaan Sang Prabu ketika Ki Patih Madri muncul
di Istana, dan segera Sang Prabu menyuruhnya mendekat untuk diajak
bertukar pikiran. Bagaikan diperciki embun pagi yang sejuk perasaan
Raja Airlangga ketika Ki Patih Madri datang pada saat yang diperlukan
sekali. Sambil menikmati hidangan kopi yang telah disuguhkan, Sang
Prabu berkata kepada Ki Patih Madri : “aku hari ini sangat kesal, marah
dan bercampur sedih dalam hatiku. Yang menyebabkan adalah ulah onar
Calonarang yang telah menebar penyakit gerubug di desa-desa pesisir
wilayah Kerajaan Kediri. Banyak rakyatku yang sakit dan meninggal di
sana. Ia ingin menghancurkan Kerajaan Kediri, serta menghancurkan
kekuasaanku. Sekarang karena kebetulan sekali Patih Madri datang ke
Istana, maka aku ingin mendapatkan masukan dari engkau mengenai masalah
yang menimpa desa tersebut. Bagaimana caranya menumpas dan melenyapkan
Calonarang beserta sisya-sisyanya atau murid-muridnya yang telah
berbuat onar tersebut. Sebab kalau tidak ditangani segera, maka rakyat
desa Kerajaan Kediri akan habis, bahkan ia akan merencanakan untuk
menghancurkan Kerajaan Kediri secara keseluruhan”. Demikian kata
pembukuan yang cukup panjang dari Sang Prabu kepada Ki Patih Madri.
Mendengar semua itu, merasa kaget Ki Patih Madri, sebab sebelumnya ia
sama sekali tidak mendengar adanya masalah ini. Ki Patih Madri berpikir
sejenak, kemudian menjawab apa yang dikatakan Sang Prabu. “Mohon ampun
Paduka, tidak patut rasanya hamba sebagai patih yang jugul punggung
atau sangat bodoh memberikan masukan kehadapan Paduka. Namun atas titah
Paduka, maka hamba akan mencoba untuk ikut urun pendapat mengenai
masalah ini.
Namun hamba bagaikan nasikin segara atau membuang garam ke laut
begitulah ibaratnya”. Lebih lanjut Ki Patih Madri menyampaikan haturnya
kehadapan Sang Prabu “Kalau mendengar tingkah laku Calonarang tersebut,
maka inilah yang disebut dalam sastra agama sebagai Atharwa yang
artinya melakukan pembunuhan yang sangat kejam terhadap orang lain yang
tidak berdosa dengan menggunakan Ilmu Hitam. Mereka telah menebar cetik
atau racun niskala di wilayah desa. Ini pula digolongkan sebagai Himsa
Karma yakni perbuatan membunuh makhluk lain secara sewenang-wenang.
Para pelaku dari semua ini harus dihukum berat dan setimpal”. Demikian
hatur Ki Patih Madri kehadapan Sang Prabu. Kemudian Ki Patih Madri
menambahkan haturnya sekarang Paduka jangan terlalu bersedih dan
khawatir. Hamba akan menjalankan Swadharmaning Kawula (kewajiban
sebagai rakyat) bersama dengan rakyat Kediri yang lainnya. Hamba akan
mengabdikan jiwa dan raga hamba untuk Kediri. Kita akan gempur
Calonarang Rangda Nateng Girah, kita hancurkan antek-antek, dan kita
musnahkan Calonarang”. Demikian Ki Patih Madri memompa semangat
junjungannya. Sungguh lega hati Sang Prabu mendengar apa yang diucapkan
oleh Ki Patih Madri.
Raja Airlangga kemudian membuat keputusan untuk menggempur Calonarang
Rangda Nateng Girah, dan mempercayakan kepada Ki Patih Madri sebagai
pimpinan penyerangan.
Gugurnya Ki Patih Madri
Diceritakan Ki Patih Madri telah mengumpulkan tokoh masyarakat dan
penduduk yang mempunyai ilmu kanuragan atau ilmu kewisesan. Mereka
semua dikumpulkan di Istana dan diberikan pengarahan mengenai rencana
penyerangan ke tempat Ratu Leak di Desa Girah menggempur Calonarang di
malam hari.
Waktu yang ditetapkan untuk penyerangan telah tiba. Menjelang tengah
malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam,
sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan atau sarana magis
pelindung diri.
Karena kesaktian Calonarang, maka serangan dari pihak Kediri yang
dipimpin Ki Patih Madri telah diketahui sebelumnya. Sehingga Calonarang
memerintahkan kepada seluruh sisya-sisyanya atau murid-muridnya untuk
bersiaga di perbatasan Desa Girah. Calonarang beserta sisyanya telah
bersiaga menyambut kedatangan para jawara Kediri yang akan
menggempurnya. Mereka telah menggelar semua ilmu yang dimiliki dan
telah menyengker atau memagari Desa Girah dengan penyengker gaib,
sehingga kekuatan musuh tidak dapat menembus pertahanan tersebut.
Pada tengah malam, sampailah Ki Patih Madri dan para jawara Kediri di
perbatasan Desa Girah. Mereka langsung menggelar ajian yang mereka
miliki dan menyerang musuh yang telah menghadang. Serangan tersebut
kemudian dihadang oleh para murid Calonarang yang dipimpin oleh Nyi
Larung sehingga terjadilah pertempuran ilmu kanuragan dimalam hari yang
sangat dasyat. Bola-bola api beterbangan di antara kedua belah pihak.
Taburan cahaya gemerlapan aneka warna di angkasa yang saling
berkelebat, berkejar-kejaran, dan saling berbenturan. Langit di Desa
Girah pada malam itu bagaikan kejatuhan bintang dari langit yang
jumlahnya ribuan. Memang sungguh-sungguh digjaya mereka semua. Tidak
beberapa lama pertempuran di malam hari berlangsung, serangan dari para
jawara Kediri dapat dipatahkan oleh ketangguhan dari ilmu yang dimiliki
oleh murid-murid Calonarang, sedangkan Ki Patih Madri gugur dalam
peperangan melawan Nyi Larung dan para jawara Kediri banyak yang tewas.
Para jawara Kediri yang masih hidup berhamburan berlari meninggalkan
arena pertempuran karena terdesak. Mereka berusaha untuk menyelamatkan
diri. Setelah mengalami desakan dari pasukan leak murid-murid
Calonarang, maka para jawara Kediri memutuskan untuk berbalik dan
kembali ke Istana Kediri, serta melaporkan semuanya kehadapan Prabu
Airlangga.
Rangda atau Leak VS Barong dalam tarian Calonarang
Kekalahan pasukan Kediri menyebabkan pasukan leak Calonarang
bergembira. Mereka semua tertawa ngakak yang suaranya nyaring dan keras
membelah angkasa. Suaranya mengalun, melengking memenuhi angkasa dan
berpantulan di antara bukit-bukit. Sehingga terasa mengerikan sekali
suasananya pada malam hari tersebut. Mereka semua menari-nari di
angkasa, berwujud bola-bola api saling berkejar-kejaran merayakan
kemenangannya.
Diceritakan mengenai perjalanan sisa-sisa pasukan Kediri yang kalah
perang. Pada pagi hari mereka telah sampai di Istana Kediri. Segera
mereka menghadap Sang Prabu dan melaporkan segala sesuatunya. Demikian
pula dengan Sang Prabu yang telah menunggu semalaman dengan harap-harap
cemas.
Salah seorang dari pasukan Kediri menghaturkan sembah kehadapan Sang
Prabu “mohon ampun Paduka, hamba permaklumkan bahwa murid-murid
Calonarang benar-benar teguh atau kuat. Pasukan Kediri tidak mampu
mengalahkannya dan Ki Patih Madri gugur dalam peperangan dan banyak
pasukan yang tewas. Hamba gagal dalam mengemban tugas yang Paduka
titahkan. Atas kegagalan tersebut, hamba mohon ampun, dan siap
menjalankan hukuman”. Demikian permakluman prajurit Kediri kehadapan
Sang Prabu.
Raja Airlangga yang bijaksana kemudian bersabda “ Wahai prajuri Kediri
yang gagah berani beserta semua pasukan, kalah menang dalam peperangan
sudah menjadi hukumnya. Yang penting sekarang adalah aku minta engkau
agar tidak surut kesetiaanmu terhadap Kediri. Teruskanlah kesetiaanmu
terhadap Istana, terhadap Kerajaan Kediri. Janganlah berputus asa,
karena masih ada waktu dan masih ada cara lain untuk menumpas
Calonarang beserta dengan antek-anteknya. Gempur kembali Calonarang.
Sang Prabu melanjutkan wejangannya. “Harus kalian ingat mengenai
Swadharmaning ring payudhan atau kewajiban dalam pertempuran. Dalam
Shanti Parwa disebutkan bahwa apabila mati dalam peperangan, maka darah
yang mengalir muncrat akan menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau
Sang Atma akan menuju Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan
dijadikan pedoman. Semuanya itu adalah merupakan sebuah pengorbanan
yang suci atau yadnya yang digolongkan yadnya utama”. Demikian Sang
Prabu memberikan wejangan kepada Prajurit Kediri yang hampir putus asa
karena kalah perang.
Mendengar wejangan tersebut, para pasukan Kediri merasakan hidup
kembali dan bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan bebayon atau
kekuatan tenanga dalam, sehingga semangat pasukan tumbuh kembali.
Prajurit kemudian berkata “baiklah tuanku, sangat senang hamba mendegar
wejangan tersebut. Sekarang hamba sadar dan yakin akan diri. Hamba akan
membela mati-matian dan menyabung nyawa menghadapi Calonarang beserta
dengan murid-muridnya”. Pernyataan Prajurit tersebut dibarengi oleh
seluruh pasukan, dan disambut hangat oleh Raja Airlangga. “Baiklah
kalau begitu, Aku sebagai Raja Kediri sangat menghargai kesetiaamu.
Buku Rahasia Ilmu Pengeleakan Calonarang
Dengan kalahnya Patih Madri melawan Nyi Larung murid Calonarang, maka
Raja Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang
Bagawanta (Rohaniawan Kerajaan) yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang
bernama Empu Bharadah yang ditugaskan oleh Raja untuk mengatasi gerubug
(wabah) sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang.
Empu Bharadah lalu mengatur siasat dengan cara Empu Bahula putra Empu
Bharadah di tugaskan untuk mengawini Diah Ratna Mengali agar berhasil
mencuri rahasia ilmu pengeleakan milik Janda sakti itu.
Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut berupa lontar yang
bertuliskan aksara Bali yang menguraikan tentang teknik – teknik
pengeleakan.
Setelah Ibu Calonarang mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh
Empu Bharadah dengan memanfaatkan putranya Empu Bahula untuk pura–pura
kawin dengan putrinya sehingga berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan
milik Calonarang.
Ibu Calonarang sangat marah dan menantang Empu Bharadah untuk perang
tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu yaitu sebuah kuburan yang
arealnya sangat luas yang ada di Kerajaan Kediri.
Pertempuran Penguasa Ilmu Hitam dengan Penguasa Ilmu Putih di Setra Ganda Mayu
Dalam perang besar ini Raja Airlangga mengikutkan Pasukan Khusus
Balayuda Kediri dalam menghadapi Calonarang dan pasukan leaknya.
Para Pasukan Balayuda Kediri yang terpilih sebanyak dua ratus orang
yang dipimpin oleh Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu Tal. Semua pasukan ini
akan mengawal dan membantu Empu Bharadah dalam menumpas kejahatan yang
dilakukan oleh Calonarang dan antek-anteknya.
Segala sesuatu perlengkapan segera dipersiapkan seperti senjata tajam
berupa tombak, keris, klewang, dan lain-lain. Demikian pula dengan
berbagai sarana pelindung badan yang gaib sebagai sarana penolak atau
penempur leak, sarana kekebalan, semuanya diturunkan dari tempatnya
yang pingit atau tempat rahasia. Yang tidak kalah pentingnya adalah
persiapan mengenai perbekalan makanan dan minuman yang diperlukan
selama penyerangan. Ketika semua persiapan dianggap rampung, maka
mereka pun istrirahat agar tenaga cukup kuat untuk penyerangan besok.
Keesokan harinya perjalanan penyerangan dilakukan, pasukan khusus atau
pasukan pilihan dari Kediri yang disebut dengan Pasukan Balayuda dalam
penyerangan tersebut mengawal Empu Bharadah. Sedangkan di depan sebagai
pemimpin pasukan dipercayakan kepada Ki Kebo Wirang didampingi Ki Lembu
Tal.
Arca Mpu Bharada
Tidak diceritakan perjalanan mereka, akhirnya rombongan Empu Bharadah
dan pasukan Kediri sampai di pesisir selatan Desa Lembah Wilis. Di sana
rombongan tersebut berhenti sejenak untuk beristirahat dalam persiapan
untuk menuju ke Desa Girah. Semua pasukan kemudian menuju Setra Ganda
Mayu yang berada di Wilayah Desa Girah.
Diceritakan kemudian Ibu Calonarang dirumahnya diiringi oleh para
sisyanya semua melakukan penyucian diri dan mengayat atau memuja
kehadapan Ida Betari mohon anugrah kesaktian. Mereka memusatkan pikiran
dan memanunggalkan bayu atau tenaga, sabda atau suara, dan idep atau
pikiran, memuja Ida Betari bersarana sekar manca warna atau bunga
warna-warni, dengan disertai asep menyan majegau atau wangi-wangian
yang dibakar yang asapnya membubung ke angkasa, seolah-olah
menyampaikan niat Ibu Calonarang kehadapan Ida Betari. Semua pekakas
dan sarana pengleakan diturunkan dari tempatnya yang pingit atau tempat
rahasia, dan masing-masing menggunakannya. Di hadapan mereka juga
digelar tetandingan jangkep atau sarana sesajen lengkap sesuai dengan
keperluan. Calonarang kemudian mulai memejamkan mata dan memusatkan
pikiran. Ia tampak berkomat-kamit mengucapkan mantra sakti memohon
anugrah kesaktian dan kesidian kehadapan Hyang Maha Wisesa, dengan
harapan Empu Bharadah dan Balayuda Kediri dapat dikalahkan.
Setelah beberapa saat melakukan konsentrasi, maka sampailah pada
puncaknya. Raja pengiwa pun telah dibangkitkan dan merasuk ke dalam
sukma. Kedigjayaan atau kewisesan telah turun dan masuk ke dalam jiwa
raga. Calonarang kemudian bangkit dan berkata kepada semua sisyanya
“para sisyaku semuanya, permohonan kita kehadapan Hyang Betari telah
terkabulkan dan telah mencapai puncaknya. Kesaktian telah kita
bangkitkan semuanya, dan telah merasuk ke dalam jiwa dan raga. Kini
saatnya kita bertarung menghadapi Empu Bharadah dan Balayuda Kediri.
Kita akan pertahankan harga diri kita. Mampuskan semua orang-orang
Kediri yang datang ke sini menyerang. Demikian perintah Calonarang
kepada seluruh sisyanya. Suaranya ketika itu telah berubah menjadi
besar dan menggema, dan bukan merupakan suaranya yang biasa. Kemudian
Calonarangpun tertawa ngakak, dan terdengar menakutkan.
Semua sisya Calonarang telah nyuti rupa atau berubah wujud dan siap
menyerang. Ada wujud bojog atau monyet yang siap menggigit, ada kambing
siap nyenggot atau menanduk, ada sapi dan kuda yang siap ngajet atau
menendang, ada kain kasa atau kain putih panjang yang siap menggulung
dan membakar, ada bade atau menara pengusungan mayat yang siap
membakar, ada babi bertaring panjang yang siap ngelumbih atau
membanting dengan kepala, ada awak belig atau badan licin yang mukanya
seperti umah tabuan atau sarang tawon. Ada pula api bergulung-gulung
yang siap membakar siapa saja yang menghadang. Semua pasukan leak
kemudian keluar dari rumah Calonarang dalam rupa bola api beterbangan,
kemudian menuju ke Setra Ganda Mayu tempat perjanjian pertempuran
dengan Empu Bharadah dan pasukan Balayuda Kediri.
Melihat pasukan leak dengan beraneka rupa datang, pasukan Kediri
menjadi kaget dan was-was dan ada yang ketakutan. Semuanya bersiap-siap
dan merapatkan diri. Demikian pula dengan Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu
Tal, mereka berdua sangat waspada serta selalu berada di dekat Empu
Bharadah untuk mengawalnya.
Empu Bharadah tidak sedikitpun gentar melihat kawanan leak tersebut,
bahkan semangat untuk bertempur semakin membara. Sambil juga Empu
Bharadah mengucap mantra sakti Pasupati. Dilengkapi pula dengan sarana
sesikepan, sesabukan, rerajahan kain, dan pripian tembaga wasa atau
lempengan tembaga. Sangat ampuh mantra sakti Pasupati tersebut. Empu
Bharadah membawa pusaka sakti berupa sebuah keris yang bernama Kris
Jaga Satru.
Ibu Calonarang Tewas
Pertarunganpun terjadi dengan sangat seram dan dahsyat antara penguasa
ilmu hitam yaitu Calonarang dibantu para sisya atau murid-muridnya
dengan penguasa ilmu putih yaitu Empu Bharadah dibantu Pasukan Balayuda
Kediri, di Setra Ganda Mayu.
Pertempuran berlangsung sangat lama sehingga sampai pagi, dan karena
ilmu hitam mempunyai kekuatan hanya pada malam hari saja, maka setelah
siang hari Ibu Calonarang akhirnya tidak kuat melawan Empu Bharadah
Calonarang terdesak dan sisyanya banyak yang tewas dalam pertempuran
melawan Empu Bharadah dan Pasukan Balayuda Kediri. Mengetahui dirinya
terdesak, Calonarang seperti biasa segera menggelar kesaktian
pengiwanya. Ia segera berubah wujud menjadi seekor burung garuda
berbulu emas, melesat ke udara, dan bersembunyi di balik awan. Ketika
itu, Empu Bharadah segera masuk ke dalam rumah Calonarang . Didapatinya
rumah Calonarang telah kosong, tak ada siapa-siapa. Pasukan Balayuda
Kediri mengurung rumah Calonarang.
Empu Bharadah kemudian berteriak : “Hai kau Calonarang pengecut, di
mana gerangan engkau bersembunyi. Sudah berwujud apa engkau sekarang,
aku akan hadapi. Aku menantangmu, ayolah segera tunjukkan batang
hidungmu”. Setelah berkata demikian, tiba-tiba ada jawaban dari
angkasa. Rupanya Calonarang sudah bersembunyi dari tadi, tanpa
sepengetahuan pasukan Kediri. Calonarang berkata : “Hai kau Empu
Bharadah, dimana bersembunyi rajamu. Mendengar ejekan si garuda
tersebut dari udara membuat Empu Bharadah menjadi naik darah. Segera
Empu Bharadah memerintahkan kepada Ki Kebo Wirang untuk membidikan
senjata tersebut ke arah si Garuda Calonarang. Namun ketika itu, Ki
Kebo Wirang menjadi kebingungan karena musuh yang akan dibidik tidak
kelihatan. Hanya suaranya saja yang berkoar-koar. Ditambah lagi dengan
adanya kilat dan guntur yang menggelegar di angkasa. Semakin
menyulitkan untuk membidik si Garuda Calonarang.
Menghadapi situasi demikian, Empu Bharadah mencoba untuk memikirkan
sebuah daya upaya. Empu Bharadah kemudian memerintahkan kepada Ki Lembu
Tal sebagai umpan, agar si garuda mau keluar dari persembunyiannya. Ki
Lembu Tal mencoba untuk mencari tempat yang agak terbuka. Mereka
menari-nari sambil mengibas-ngibaskan senjatanya ke udara sebagai
pertanda menantang. Ki Lembu Tal mengejek si garuda : “Hai engkau
Calonarang, kenapa engkau bersembunyi. Ayo turun, akan aku potong
lehermu, akan aku cincang engkau, bila perlu aku jadikan burung garuda
panggang. Hai kau Calonarang, kalau memang engkau sakti mengapa engkau
bersembunyi di tempat yang tinggi begitu. Kalau engkau mau, kau boleh
hisap pantatku”. Demikian ejekan Ki Lembu Tal yang tidak senonoh,
sambil membuka kainnya dan memperlihatkan pantatnya ke arah datangnya
suara Calonarang.
Mendengar dan melihat ejekan Ki Lembu Tal, menyebabkan Calonarang
menjadi naik darah, dan segera keluar dari persembunyiannya. Si garuda
Calonarang dengan secepat kilat terbang dan menyambar Ki Lembu Tal.
Pada saat si garuda terbang menyambar Ki Lembu Tal, ketika itu pula
Empu Bharadah membidikkan senjata pusaka Jaga Satru dan menembakkannya
ke arah sang garuda. Si garuda jelmaan Calonarang tersebut terkena
tembakan senjata Jaga Satru dan jatuh tersungkur ke tanah. Segera si
garuda mengambil wujud kembali menjadi manusia sosok Calonarang. Ratu
Leak Calonarang yang sakti mandraguna tidak berdaya dengan kesaktian
senjata pusaka Jaga Satru Empu Bharadah. Semua pasukan Balayuda Kediri
segera mendekati Calonarang yang tidak berdaya dan kemudian Calonarang
menghembuskan nafas terakhir di Setra Ganda Mayu.
Dengan meninggalnya Ibu Calonarang maka bencana gerubug (wabah) yang melanda Kerajaan Kediri bisa teratasi.