Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Translate....

Senin, 21 Desember 2015

MISTERI GUNUNG LAWU YANG GHAIB DAN MISTIS

Nama asli gunung Lawu adalah Wukir Mahendra.
Gunung Lawu merupakan kerajaan pertama di pulau Jawa yang dipimpin oleh raja yang dikirim dari Khayangan karena terpana melihat keindahan alam diseputar Gn. Lawu. Sejak jaman Prabu Brawijaya V, raja Majapahit pada abad ke 15 hingga kerajaan Mataram II banyak upacara spiritual diselenggarakan di Gunung Lawu. Hingga saat ini Gunung Lawu masih mempunyai ikatan yang erat dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta terutama pada bulan Suro, para kerabat Keraton sering berjiarah ke tempat-tempat keramat di puncak Gn.Lawu.
Terdapat padang rumput pegunungan banjaran Festuca nubigena yang mengelilingi sebuah danau gunung di kawah tua menjelang Pos terakhir menuju puncak pada ketinggian 3.200 m dpl yang biasanya kering di musim kemarau. Konon pendaki yang mandi berendam di tempat ini, segala keinginannya dapat terkabul. Namun sebaiknya jangan coba-coba untuk mandi di puncak gunung karena airnya sangat dingin. Rumput yang tumbuh di dasar telaga ini berwarna kuning sehingga airnya kelihatan kuning. Telaga ini diapit oleh puncak Hargo dumilah dengan puncak lainnya. Luas dasar telaga Kuning ini sekitar 4 Ha.

SEBAGIAN KISAH ASAL - USUL ORANG JAWA DAN SUMATRA

Hasil gambar untuk raden rangga putra panembahan senopati


Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.

Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.

DUEL MAUT RADEN RANGGA DAN PENDEKAR SAKTI

Melongok Tanah Jawi masa silam, kita akan tahu bahwa di dalam sejarahnya, di Jawa yang tidak pernah sepi dari konflik baik berupa intrik terbuka maupun peperangan, memaksa setiap wong Jowo untuk mempersiapkan diri dari bahaya baik dari dalam maupun dari luar.Bisa dikatakan Sejarah Jawa adalah sejarah perjuangan manusia untuk bisa hidup damai, tentram dan bahagia namun juga harus bersiap menghadapi segala tantangan. Sikap nrimo dan pasrah itu perlu, namun yang juga perlu adalah bahwa manusia Jawa adalah manusia yang siap untuk struggle for survive (bertahan hidup) di tengah berkecamuknya kepentingan yang berbeda-beda. Itu sebabnya, di Jawa memiliki ilmu-ilmu kesaktian hampir bisa dipastikan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari hidup seseorang.
Salah satu orang Jawa yang terkenal kesaktiannya adalah Raden Rangga. Siapa dia? Raden Rangga adalah anak satu-satunya Panembahan Senopati dan Ratu Kali Nyamat. Sejak kecil hingga remaja, Raden Rangga sudah bakat menjadi pendekar sakti dan tangguh. Sayangnya, dia memiliki watak buruk yaitu pemarah dan suka memukul.

KISAH RADEN MAS SAID ATAU SUNAN KALIJAGA



SUNAN KALIJAGA

HUTAN Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.

Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan.

Selasa, 17 Maret 2015

SYEKH SITI JENAR

Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)
Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.

Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).  

Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.

ASAL - USUL NAMA KOTA SRAGEN



Kerajaan Mataram di Kartasura terjadi kekacauan. Suasana pada saat itu sangat ricuh. Raden Mas Garendi, putra Pangeran Tepasana menentang kebijaksanaan para narapraja Mataram, terutama kepada Patih Pringgalaya yang lengket sekali dengan Kompeni Belanda. Raden Mas Garendi ingin membalas dendam karena ayahnya Pangeran Tepasana dihukum mati tanpa jelas kesalahannya. Suatu hari Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II berbincang-bincang dengan Tumenggung Alap-alap di Dalem Ageng.

“Hai, Tumenggung Alap-alap !”, sabda Kanjeng Sunan mengawali pembicaraan.
“Daulat Gusti”, jawab Tumenggung Alap-alap sambil menyembah.
“Coba, katakanlah yang sebenarnya, apa yang telah terjadi pada para narapraja di Kartasura ?”

“Ampun Gusti, hamba mendengar kabar, bahwa ananda Raden Mas Garendi melakukan pemberontakan menentang kompeni.”
“Bila demikian keadaannya, yang repot kan saya. Hai Alap-alap, menghadapi keadaan ini aku jadi bingung. Mana yang harus saya dukung ?”
“Ampun Gusti, ananda Garendi menentang kompeni, itu merupakan usaha untuk mengembalikan kemuliaan nama dan kewibawaan Paduka Kanjeng Sinuhun”, sembah Tumenggung Alap-alap.

“Lho, kalau begitu, kamu menyetujui tindakan si Garendi. Benarkah itu ?”
“Ampun, beribu ampun Gusti, Begitulah nyatanya.”
“Oooo…..Alap-alap, sadarlah keadaanmu, keadaan kita sekarang ini. Mampukah kita melawan kekuatan kompeni ? Kompeni memiliki senapan dan meriam, sedangkan kita…. Orang jawa, hanya memiliki senjata tombak. Saya tidak berani menentang kompeni. Kasihan para prajurit yang menjadi korban sia-sia.”

Mendengar sabda Kanjeng Sunan, Tumenggung Alap-alap hanya terpaku diam. Dari kata-kata Kanjeng Sunan tersebut, menunjukkan sikap Kanjeng Sunan tidak teguh dan sangat lemah. Sikap demikian itu justru dapat membahayakan kedudukan Tumenggung Alap-alap sebagai narapraja Mataram. Maka dari itu, untuk menghindari segala kemungkinan yang dapat merugikan dirinya, diputuskanlah dia beserta keluarganya harus pergi dari Kartasura. Kemudian pergilah Tumenggung Alap-alap beserta seluruh keluarga dan kaum kerabatnya dari Surakarta menuju ke arah timur, ke daerah Sukawati. Dia pergi dengan membawa perasaan benci, kecewa, baik terhadap Sunan maupun terhadap Patih Pringgalaya. Daam perjalanannya itu sampailah mereka di desa Kranggan, daerah Sukawati. Di situ Alap-alap menyamar sebagai pendeta dengan nama Kyai Srenggi.

Sementara itu pasukan pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Garendi dalam hati megharapkan datangnya bantuan dari Kanjeng Sunan, sesuai dengan janji Sunan sendiri. Namun bantuan itu tak kunjung datang. Bahkan akhirnya diketahui, bahwa Kanjeng Sunan membantu kompeni. Menyaksikan sikap Sunan tersebut, Raden Mas Garendi sangat marah. Dia bertekad untuk mengusir kompeni dari bumi Jawa dan menghancurkan Kraton Kartasura yang dijadikan sarang Kompeni Belanda. Maka pecahlah pertempuran yang hebat antara pasukan pemberontak melawan pasukan Sunan yang dibantu oleh Kompeni Belanda.

Dalam suasana yang sangat kacau itu, Sunan lolos meninggalkan kraton. Rombonga mereka itu pergi ke arah timur. Sesampainya di desa Lawean berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. Namun di situ dirasa tidak aman, maka perjalanan diteruskan ke Ponorogo. Akhirnya pada tahun 1742, Kraton Kartasura jebol dan diduduki oleh pasukan pemberontak. Kemudian diangkatlah Raden Mas Garendi menjadi Sunan di Kartasura oleh para pendukungnya dengan gelar Sunan Kuning.

Pada suatu hari Patih Pringgalaya bercakap-cakap dengan Kapten Wilhem, pimpinan Kompeni di benteng Kartasura. Dari hasil pembicaraan yang singkat tersebut, kemudian Kapten Wilhem minta bantuan ke Batawi. Tidak lama kemudian bantuan itu pun datang. Terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari sebelumnya. Akhirnya karena perlengkapan dan jumlah serdadu Sunan dan Kompeni lebih lengkap dan lebih banyak, pasukan Sunan Kuning kalah dan diusir dari Kartasura. Setelah Sunan Kuning disingkirkan, Sunan Paku Buwana II yang masih berada di Ponorogo diberi tahu dan dimohon kembali ke Kartasura untuk menduduki tahtanya kembali.

Kembalilah Kanjeng Sunan Paku Buwana II bersama rombongannya ke Kartasura. Namun Kanjeng Sunan tidak kerasan karena keadaan Kartasura yang porak poranda tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Maka Kanjeng Sunan memutuskan pindah dari Kartasura untuk membangun kraton baru. Kemudian dipilihlah desa Sala, sebagai calon kraton yang baru. Desa Sala dibangun dan diganti namanya menjadi “Surakarta Hadiningrat”. Pada waktu itu keadaan masih sangat kacau, masih banyak pemberontakan menentang Kompeni Belanda. Para pemberontak tersebut sebagian besar masih termasuk anggota keluarga raja
sendiri, dan yang paling ditakuti adalah Pangeran Mangkubumi di Sukawati.

Pada waktu Pangeran Mangkubumi lolos dari Kuthagara Surakarta, dia bersama keluarga dan beberapa prajurit pergi ke arah timur laut kota Surakarta. Sampailah mereka di desa Kranggan. Sesampainya di desa Kranggan dia menerima kabar bila di desa tersebut ada seorang Brahmana sakti mandraguna bernama “Kyai Srenggi”. Pangeran Mangkubumi singgah di desa Kranggan untuk berkenalan dengan Kyai Srenggi serta mohon petunjuk.
“Eee, mari…mari silakan masuk Pangeran. Hamba tidak mengira akan kedatangan tamu agung. Mari silakan masuk!”, kata Kyai Srenggi ketika kedatangan Pangeran Mangkubumi.

“Ketahuilah Bapa, hamba sekarang bukan lagi seorang priyagung. Sebab selama pengembaraan ini hamba tanpa pangkat dan derajat. Hamba adalah seorang buruan yang menentang raja dan….Kompeni Belanda..” Jawab Pangeran Mangkubumi dengan hormat.
Kyai Srenggi tersenyum dan berkata , “Apakah Pangeran lupa kepada hamba ? Hamba ini tidak lain adalah Tumenggung Alap-alap, seorang hamba kerajaan yang tidak kerasan tinggal di Kartasura dan menyepi di Kranggan ini.”

Bagaikan disambar petir di siang hari, Pangeran Mangkubumi mendengar pengakuan Kyai Srenggi tersebut. Pageran Mangkubumi sangat terkejut dan kemudian memeluk Tumenggung Alap-alap. Begitu awal pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan percakapan yang panjang. Dan akhirnya Alap-alap atau Kyai Srenggi diangkat menjadi senapati perang memimpin para prajurit untuk memusnahkah tindak angkara murka. Sejak saat itu Tumenggung Alap-alap brganti nama menjadi Kyai Sragen, sedang desa Kranggan diganti namanya menjadi desa “SRAGEN”.

KISAH AJI SAKA ADU KESAKTIAN DENGAN DEWATA CENGKAR

Konon kabarnya bahwa tanah Pulau jawa ini sudah dikuasai oleh Kerajaan Galuh yang diperintah Prabu Sindulaya Sang Hyang Prabu Watu Gunung. Pusat pemerintahannya berada di Jawa Barat, karena dianggap mempunyai peranan penting terhadap raja-raja di luar Jawa. Beliau memang berhasil mengangkat nama Galuh menjadi termasyhur dan juga rakyatnya hidup makmur.

Prabu Watu Gunung dikaruniai empat orang putra, yaitu Dyah ayu Dewi menjadi ratu di Nusatembini, Pangeran Adipati Dewata Cengkar, Dewata Pemunah Sakti menjadi adipati di Madura, dan yang terakhir Pangeran Adipati Dewata Agung menjadi adipati di Pulau Bali.
Rakyat Galuh cenderung tidak senang terhadap salah seorang pangeran yaitu Pangeran Adipati Dewata Cengkar. Tingkah lakunya yang kasar terhadap rakyat kecil dan suka menganiaya orang sangat tidak mencerminkan sebagai seorang pangeran. Lebih-lebih terhadap salah satu kegemarannya yang suka memakan daging manusia. Hal tersebut menjadikan rakyat Galuh yang dulunya hidup tenteram berubah menjadi kekhawatiran terhadap keselamatan mereka. Kemudian bagi rakyat yang hatinya kecil, seraya pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mencari perlindungan. Perubahan keadaan yang dirasakan oleh rakyat Galuh menjadikan Sang Hyang Watu Gunung mulai bertandang. Lebih-lebih yang menjadi biang keladinya adalah anaknya sendiri, sehingga Sang Prabu seperti dicoreng mukanya. Dengan rasa malu yang tidak dapat ditebus dengan nilai uang, seketika memerintahkan Patih untuk menghadapkan Dewata Cengkar ke istana.
Prabu Watu Gunung sangat murka kepada Dewata Cengkar. Dewata Cengkar yang tidak terima pergi begitu saja meninggalkan istana tanpa pamit. Dia bersama para pasukan yang masih setia kepadanya melarikan diri ke arah timur di waktu tengah malam. Mereka terus berjalan ke timur. Perjalanan mereka terhenti di saat mereka sampai di tempat yang sangat indah dan berlokasi sangat strategis. Tempat tersebut tepatnya di Pegunungan Kendeng. Dewata Cengkar mulai membangun bangunan seperti istana. Dia mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Medang Kamolan. Untuk membantu urusan pemerintahan diangkat seorang temannya dari Galuh yang bernama Arya Tengger menjadi Patih dan seorang lagi bernama Ruda Peksa menjadi Tumenggung.
Setelah Prabu Dewata Cengkar berhasil mengangkat nama Medang Kamolan menjadi termasyhur dan rakyat menjadi makmur. Medang Kamolan termasuk sudah bisa melupakan rasa balas dendamnya kepada Prabu Watu Gunung. Karena bujukan Patih Arya Tengger dan Ruda Peksa dendam Prabu Dewata Cengkar tersulut kembali. Dengan kemampuan prajurit Medang Kamolan yang sudah perkasa Dewata Cengkar menyerbu Kerajaan Galuh.